Aku dan Dia (episode 2)

…dengan memandangmu saja aku dapat menjadi penulis novel-novel romantis sehebat Marquis de Sade, Shakespeare dan Goethe, Apa jadinya bila aku memilikimu?”
(Petikan Mantra, hal 21)
 
Tanpa dia sadari sepanjang jam kuliah PAl itu yang kutatap dan yang kupandangi hanyalah dia. Aku menatap dan memandanginya dengan penuh ketakjuban. Dalam hati aku bertanya inikah gadis yang dulu pernah diimpi-impikan oleh Maha Guru, Filsuf sekaligus Pujangga Besar Kahlil Gibran dalam setiap syair-syairnya. Atau inikah gadis renkarnasinya Dewi Shinta yang membuat hati Si Rama laksana terbang ke angkasa luas. Atau jangan-jangan inikah gadis jelmaan Fatimah Binti Muhammad, Putri Rasulullah yang anggun dan jelita itu yang membuat degup jantung Sayidina Ali Bin Abi Thalib jadi menderu-deru karena cinta. Ah sudahlah…, yang jelas dia bukan siapa-siapaku, dan aku juga bukan siapa-siapa dia, titik. Tapi apakah aku salah kalau aku mengharapkannya…???
Disampingku ada seoarang kawan yang dia asyik betul memperhatikan “khutbah” sang dosen. Nama kawanku itu ialah Jono. Aku melihat dari sorot matanya dia adalah calon orang besar. Kalau boleh aku menggunakan istilah ilmu politik dia adalah rival terkuatku dalam bursa calon presiden RI dinegeri ini. Kalau ada yang bertanya calon presiden tahun berapakah?!” biarlah sejarah yang akan menjawabnya! Yang jelas saya senang berkawan dengan dia. Pada saat aku masih sebagai anggota Salah satu organisasi ektra kampus Komisariat pertanian UGM dia pernah menyatakan ketertarikannya untuk bergabung di organisasi yang aku ikuti juga itu, tetapi sayang dalam proses perjalanannya dia tidak ikut karena beberapa pertimbangan. Pada waktu itu aku hanya bilang, organisasi ini telah kehilangan calon kader yang sangat potensial untuk memajukannya.
Kembali kepersoalan, walhasil aku bertanya sama dia, “gadis berkerudung itu yang duduk disana namanya siapa yah Jon?” Gadis berkerudung yang mana Ton??? Tanya dia keheranan. Yang itu…,sambil aku sedikit memberikan isyarat dengan tangan. Oh dia.., kalau dia sich namanya Dian ton, Jawab dia singkat. Oh dian, jawabku sambil mengangguk. Belum sempat aku berbicara dia langsung menyergap aku dengan segudang pertanyaan yang mematikanku. “Kamu naksir yah sama dian??” Tanya dia kepadaku. Pada waktu itu aku hanya bilang bahwa gadis itu manis.

“Dalam cinta seringkali kebungkaman lebih
berlaku daripada percakapan…”
(Pascal)

Posting Komentar