Aku dan Dia (episode 3)

Aku menyentuh tangan lembutnya…
“…….Aku tahu kutakkan bisa
 menjadi seperti yang engkau minta
Namun selama nafas berhembus,
Aku kan mencoba…”
(Petikan Lagu Chrisye)
Kuduga-duga dia menawarkan jasa kepadaku yakni dia bersedia menjadi penghubung antara aku dengan Dian, gadis berkerudung itu. Pada waktu aku disodori jasa yang demikian itu Spontan saja aku bilang, “yah sudah kalau kamu ketemu sama dia, aku titip salam buat dia”. jawabku singkat. Oke ton, jawab dia penuh keyakinan. yah begitulah percakapanku dengan Jono. Percakapan yang sederhana tapi bagiku penuh makna. Percakapan yang akhirnya memperkenalkannku dengan seorang gadis berkerudung berparas ayu, Dian namanya. meskipun dalam hatiku terselip kata-kata, “aku sangsi bisa mendapatkan hatinya…??” 
Sejak aku mengenal namanya, ada perasaan yang tak biasa datang menghinggapiku. Setiap malam aku membayangkan gadis berkerudung itu mau dan sudi datang dalam mimpi-mimpiku, walaupun itu hanya sekejap, atau sekerlipan mata. Aku membayangkan diriku seperti Hitler, Lenin, Mussolini ketika jatuh hati kepada pasangan-pasangannya masing-masing. Aku membayangkan diriku seperti Soekarno muda yang jatuh hati kepada Inggit Garnasih, perempuan yang sangat setia kepadanya. Yah…,Aku membayangkan diriku bisa duduk berdua bersamamu Dian yang cantik, sambil bercerita panjang tentang hari depan kita yang indah. Aku ingin itu!!! Dan tahukah kau hal itu selalu kupanjatkan dalam setiap lantunan doa-doaku kepada sang pencipta.
Hari ketiga dari kuliah PAI akhirnya tiba. Senin tanggal 28 September 2009 adalah hari yang Aku tunggu-tunggu, aku nanti-nantikan. Bukan karena apa-apa, hanya karena aku ingin untuk kesekian kalinya lagi aku dapat memandang Dian, gadis berkerudung yang anggun itu. aku pun berangkat menuju kampus mungil HUKUM dengan mengendarai motor setiaku. Motor yang selalu menemaniku dalam suka dukaku. Dalam perjalanan menuju kampus, yang terbayang dalam pikiranku hanya satu, Dian, titik!!! Meskipun tetap sebagai seorang mahasiswa aku juga nantinya harus memperhatikan apa yang disampaikan oleh dosenku. Tapi nama Dian tidak pernah bisa aku  melupakannya.
Sesampai dikampus, aku segera menuju ke ruang 4.3.9 . Ruang dimana kuliah PAI diselenggarakan. Tidak berapa lama, Pak Syarif  pun akhirnya datang, itu artinya kuliah akan segera dimulai. Tiba-tiba kawanku Jono datang, dia memanggil-manggil nama Dian, kemudian dia bilang. “ini loh yang namanya Mas Tono” sambil Jono memandangku. Wah betapa aku kaget sekali dibuatnya. Aku ini laki-laki yang pemalu kalau berurusan dengan perempuan. Kontan saja aku  jadi salah tingkah. Dian pun akhirnya menoleh ke aku. Dan aku pun dengan menahan rasa malu yang teramat sangat terpaksa hanya diam dan diam.
Sepanjang kuliah ketiga PAI berlangsung, aku benar-benar tidak bisa konsentrasi. Dalam hati aku hanya bisa berkata mungkinkah Dian marah kepadaku, sebab aku terlalu lancang titip salam buat dia. Dian itu gadis yang cantik, anggun, manis jelas akan merasa tersinggung dititipi salam dari laki-laki jelek yang tak jelas jundrungnya macam saya ini. Tapi semua sudah terjadi. Sudah terjadi…!!! Dalam kegamangan yang tak menentu, tersadarlah olehku bahwa aku ini memang tidak pantas berharap untuk dapat memilikinya. Maka mulai hari ini, jam ini, menit ini, detik ini aku harus cepat-cepat menghapus wajah Dian yang ayu dari ingatanku sebelum terlambat. Melupakan senyum manis Dian yang selalu menggodaku takkala aku memandangnya. Yah…, harus!!! Meskipun itu teramat sulit untuk kulakukan.
Ketika kuliah ketiga PAI berakhir, Jono kembali “berulah”. Kawan ku ini sedikit memprovokasiku dengan kata-kata “masak gak berani kenalan sama dia ton”. sebenarnya aku tidak mau meladeni “tantangannya” yang demikian itu, sebab sebagaimana yang kukatakkan tadi bahwa aku ini laki-laki yang pemalu bila berhadapan dengan perempuan, apalagi kepada perempuan yang membuat hatiku bergetar (Dian), tetapi karena mimik wajah Jono, kawanku itu yang kutafsiri seakan meremehkanku ditambah la terus mendesakku dengan semburan kata-katanya. Maka kejantananku pun akhirnya terusik. Dalam hatiku aku berkata oke “tak ladeni” tantanganmu. Aku mulai mengayunkan kakiku setapak demi setapak untuk menuju ke Dian, gadis berkerudung yang membuat hatiku merasa tentram kalau menyebut namanya. Singkat cerita aku pun mulai mengayunkan kakiku itu dengan perasaan percaya diri, sepercaya diri Ahmadinejad, Presiden Iran ketika Ia berbicara lantang menentang Amerika. Aku juga dengan perasaan yakin akan berani mengajak Dian untuk barang sebentar bercakap-cakap dan ngobrol berdua bersamaku. Kau tahu tidak, perasaan yakin dan beraniku itu kalau boleh dilukiskan ialah seyakin dan sepembarani Muhammad Rasulullah ketika meminang putri Abu Bakar, Aisyiah RA. Tetapi teori tetaplah teori. Dasar aku ini laki-laki pemalu kalau berhadapan dengan perempuan, bayangkan Ketika aku sampai didepannya yang aku ucapkan hanya “Namaku Tono, nama kamu siapa?  Sambil menyodorkan tanganku itu ke Dian. Untung saja tangankupun disambut oleh dia, sambil dia berkata Namaku Dian. Kalau saja sampai tidak disambut tanganku itu gak tau lagi aku harus bagaimana. Dan kau tau kata apa yang kuucapkan selanjutnya…?! Bukannya merayu dia atau mengajak dia ngobrol, tapi kututup dengan salam, “Assalamualaikum”. Mirip khotbah jumat saja, wah-wah benar-benar bodoh aku ini. Kesempatan yang seharusnya bisa aku manfaatkan malah aku sia-siakan, tapi bagaimana lagi, kalau dirunut-runut itu bersumber dari “penyakit bawaanku” yang sangat kronis yakni pemalu. kejadian konyol itu tidak akan pernah aku lupakan, tapi meskipun demikian aku sudah bahagia bisa menyentuh tangan lembutnya.

“Dalam cinta seringkali kebungkaman lebih
berlaku daripada percakapan…”
(Pascal)

Posting Komentar